Jakarta-“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” Bung Karno
Apa yang dikemukakan Bung Karno, seolah-olah beliau mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan “bangsa sendiri” lebih sulit karena lawan tidak tampak sebagai musuh langsung, tetapi sering kali membungkus kepentingannya dalam narasi pembangunan dan modernisasi.
Dalam konteks Maba Sangaji, perjuangan ini tidak hanya soal tanah, tetapi juga tentang kedaulatan atas lingkungan hidup dan keberlanjutan. Dengan pendekatan otonomi relatif, kita dapat menegaskan bahwa negara seharusnya menciptakan ruang bagi keputusan-keputusan lokal yang mempertahankan hak masyarakat adat atas wilayah mereka. Namun, ketika kebijakan pusat lebih berpihak pada korporasi seperti PT. Position, ruang tersebut hilang, dan masyarakat dipaksa untuk berjuang melawan sistem yang semestinya menjadi pelindung mereka.
“Kriminalisasi 11 Warga Sangaji Dinilai Bentuk Kekerasan Struktural atas Nama Pembangunan”
Putusan Pengadilan Negeri Soasio yang mengabulkan gugatan praperadilan 11 warga masyarakat adat Sangaji, Halmahera Timur, seharusnya menjadi akhir dari jerat hukum yang menimpa mereka. Namun hingga kini, status hukum mereka masih menggantung, sementara stigma sebagai pelaku kriminal terus melekat dalam ruang publik dan narasi negara.
Kasus ini mencuat sejak warga menuntut ganti rugi atas perampasan lahan adat oleh perusahaan tambang. Mereka justru dituduh melakukan pemerasan, membawa senjata tajam, dan menghalangi investasi. Aparat menggunakan pasal-pasal darurat untuk menjerat warga yang sejatinya sedang mempertahankan ruang hidup mereka.
Dalam keterangan tertulisnya, Mochdar Soleman, pengamat politik lingkungan, Universitas Nasional, menyebut bahwa kasus ini mencerminkan praktik “psikologi terbalik” dalam kebijakan negara: warga yang membela tanah leluhurnya dianggap sebagai ancaman, sementara korporasi yang menyerobot hutan adat justru dilindungi.
“Ini bukan sekadar kesalahan hukum prosedural. Ini adalah kekerasan struktural yang dilakukan secara sah melalui aparatus hukum negara,” tegas Mochdar.
Mengacu pada Bryant dan Bailey, Mochdar menegaskan bahwa lingkungan hidup adalah arena konflik antara negara, kapital, dan komunitas lokal. Negara, dalam banyak kasus, justru bertindak sebagai agen kepentingan ekstraktif melalui aparat hukum dan regulasi.
Warga adat Sangaji berada di posisi yang tidak menguntungkan: tidak memiliki kekuatan legal formal atas tanah, namun memiliki legitimasi sosial dan ekologis yang kuat. Alih-alih dilindungi, mereka dihadapkan pada hukum yang berpihak pada modal, ungkapnya
Tercatat bahwa kasus Sangaji bukan satu-satunya. Tren kriminalisasi warga yang menolak tambang, perkebunan sawit, hingga proyek infrastruktur menunjukkan bahwa hukum lingkungan di Indonesia belum berpihak pada rakyat dan ekologi. Pendekatan berbasis keadilan ekologis bukan semata prosedur administratif, tapi harus segera dikedepankan.
“Kita membutuhkan demokrasi ekologis, bukan hanya demokrasi elektoral. Perlindungan masyarakat adat adalah ukuran keberlanjutan sejati,” tutup Mochdar dalam pernyataannya.
Akademisi UNAS: Bencana Kehadiran Tambang












