Jakarta — Sebuah ruang kelas di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional (UNAS) siang itu tampak seperti biasa. Namun di hadapan para mahasiswa, seorang dosen memulai kuliahnya bukan dengan teori politik konvensional, melainkan dengan cerita tentang sungai yang berubah warna di Halmahera Tengah dan hutan-hutan yang hilang di Tidore. Dosen itu adalah Mochdar Soleman, seorang akademisi yang konsisten mengangkat isu lingkungan kampung halamannya dari pusat ibukota.
“Saya memang belum pulang ke Tidore, tapi suara saya harus sampai ke sana,” ujar Mochdar, penuh keyakinan.
Perjalanan Mochdar menembus Jakarta dimulai dari perjalanan panjang yang penuh liku. Tahun 1999, ia memulai studinya di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ternate, mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Kala itu, pikirannya penuh dengan ajaran tentang etika dan keadilan sosial. Namun, ia merasa ada jurang yang dalam antara apa yang diajarkan di bangku kuliah dengan realitas ketimpangan yang ia saksikan sehari-hari.
Tahun 2002 menjadi titik balik. Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, melalui inisiatif Sekretaris Daerah saat itu, Alm. Drs. Musa Badrun, memberikan beasiswa kepada sembilan pemuda Tidore untuk melanjutkan studi di Jakarta. Mochdar adalah salah satunya. “Pak Musa bilang, kami harus keluar dari pulau, belajar, lalu kembali membangun daerah. Pesan itu saya pegang sampai sekarang,” kenangnya.
Setibanya di Jakarta, Mochdar dan kawan-kawan tinggal di Mess Pemda Halteng di Cempaka Putih. Kehidupan mereka jauh dari kata mewah. Mereka hidup dalam keterbatasan, namun di situlah tekad dan solidaritas terbangun. Mochdar melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional, memilih jurusan Ilmu Politik.
Namun bagi Mochdar, kuliah bukan sekadar soal mengejar gelar. Ia terjun aktif di dunia pergerakan, memimpin Komunitas Mahasiswa Indonesia Timur (Komunitas), yang menjadi wadah perjuangan mahasiswa dari kawasan timur di ibukota. Ia juga aktif di Solidaritas Aksi Mahasiswa untuk Demokrasi (SOMASI), terlibat dalam advokasi masyarakat miskin kota dan isu-isu kerakyatan lainnya.
“Saya belajar bahwa politik bukan hanya soal kekuasaan, tapi soal bagaimana kita berpihak. Politik harus turun ke jalan, ke kampung-kampung, ke masyarakat yang terpinggirkan,” katanya.
Setelah menyelesaikan studi sarjananya pada 2008, Mochdar melanjutkan pendidikan magister di UNAS pada 2013. Kini, ia mengabdikan diri sebagai dosen di FISIP UNAS. Namun, pilihannya menetap di Jakarta tidak mengendurkan komitmennya terhadap isu-isu lingkungan di kampung halaman. Ia aktif menulis opini, terlibat dalam penelitian tentang politik lingkungan, dan rutin menjadi narasumber diskusi publik yang membahas nasib ruang hidup masyarakat adat di Maluku Utara.
Salah satu isu yang paling sering ia soroti adalah dampak hilirisasi tambang nikel di Maluku Utara. Menurutnya, proyek-proyek besar yang didengungkan sebagai “hilirisasi” seringkali hanya menjadi narasi kemajuan semu, sementara di lapangan, masyarakat adat kehilangan ruang hidup dan lingkungan mereka rusak parah.
Mochdar tidak hanya bersuara lewat tulisan. Dalam beberapa tahun terakhir, ia aktif menginisiasi dan menjadi pembicara dalam berbagai webinar nasional dengan tema hilirisasi tambang nikel dan dampaknya terhadap lingkungan serta masyarakat adat. Dalam forum daring tersebut, Mochdar sering memaparkan data dan cerita lapangan yang jarang mendapat panggung di media arus utama.
“Kita harus melawan narasi tunggal tentang hilirisasi. Ini bukan hanya soal ekonomi makro, tapi tentang siapa yang mendapat untung dan siapa yang menanggung kerugian ekologis,” tegasnya dalam salah satu webinar.
Bagi Mochdar, menjadi dosen bukan berarti menjauh dari perjuangan. Ia menjadikan ruang kelas dan ruang virtual sebagai panggung advokasi, mendorong mahasiswa dan publik untuk melihat bahwa isu-isu lingkungan di kawasan timur Indonesia adalah cermin dari krisis kebijakan nasional yang lebih luas.
“Politik lingkungan adalah tentang menyambungkan yang jauh dengan yang dekat. Saya di Jakarta, tapi hati saya tetap ada di Tidore. Lewat tulisan, ajaran, webinar, saya ingin memastikan bahwa kampung halaman saya tidak sendirian,” katanya.
Di tengah gegap gempita Jakarta, suara Mochdar Soleman terus mengalir, menembus tembok birokrasi, menembus batasan geografis. Ia adalah bukti bahwa perjuangan dari pinggiran bisa tetap nyaring terdengar, meski dari ruang kelas dan layar-layar kecil di ibukota.












