Hilirisasi Nikel di Halmahera Timur “Negara, Modal, dan Kekerasan”

Mochdar Soleman, S.IP., M.Si
Sekjen GP Nuku
Dosen dan Pengamat Politik Lingkungan
Universitas Nasional

Jakarta, 12 Juni 2025 – Negara seharusnya melindungi rakyat.” Kalimat sederhana ini terasa makin jauh dari kenyataan ketika kita menyaksikan kekerasan yang menimpa masyarakat adat di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Sebagaimana dilaporkan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) baru-baru ini tentang serangkaian tindakan represif oleh aparat kepolisian terhadap warga yang menolak aktivitas pertambangan nikel di wilayah adat mereka. Kekerasan fisik, penembakan gas air mata, hingga kriminalisasi menjadi bagian dari upaya membungkam suara penolakan. Satu fakta menjadi terang: dalam pusaran hilirisasi dan kapitalisme ekstraktif, negara” tak netral” ia berpihak.

Apa yang terjadi di Halmahera Timur bukan sekadar konflik sumber daya biasa. Ia mencerminkan relasi kuasa yang timpang antara negara, modal, dan rakyat kecil. Pendekatan ekologi politik menempatkan fenomena ini sebagai gejala dari sistem kapitalisme global yang menempatkan alam dan komunitas lokal sebagai objek eksploitasi demi akumulasi kapital. Dalam kasus ini, negara hadir bukan sebagai penengah, melainkan sebagai “fasilitator” bahkan “eksekutor” dari kepentingan pemodal.

Negara sebagai Alat Represi Modal
Karl Marx pernah menyatakan dalam Capital Vol. III bahwa, “The executive of the modern state is but a committee for managing the common affairs of the whole bourgeoisie.” Negara, dalam pandangan Marx, bukanlah institusi netral, melainkan alat kelas berkuasa untuk mempertahankan dominasi ekonomi-politiknya. Ketika kepentingan akumulasi kapital bertemu dengan perlawanan rakyat, negara cenderung berpihak pada modal, dan bukan pada rakyat yang dirugikan.

Hal ini terlihat nyata di Halmahera Timur. Aparat kepolisian yang seharusnya menjamin keamanan publik justru tampil sebagai alat represi, digunakan untuk memastikan kelancaran investasi. Negara, alih-alih menjadi pelindung hak-hak konstitusional masyarakat adat, berubah menjadi alat legitimasi kekerasan demi investasi yang diklaim strategis. Ini bukan anomali. Ini adalah fungsi negara dalam logika kapitalisme: menjamin kelangsungan sirkuit akumulasi, bahkan bila harus mengorbankan hak dasar warga negara.

Akumulasi Kapital dan Perampasan Ruang Hidup
Logika dasar kapitalisme adalah ekspansi tanpa henti. Akumulasi kapital berlangsung bukan hanya lewat produksi dan perdagangan, tetapi juga melalui pengambilalihan ruang. Dalam konteks ini, tanah adat, hutan, dan wilayah pesisir menjadi obyek incaran untuk dikomodifikasi. Dalam konteks ini, Marx telah menjelaskan bahwa sejarah kapital adalah sejarah dari “expropriation of the producers”perampasan dari mereka yang memproduksi nilai.

Hilirisasi nikel di Halmahera Timur hanyalah versi kontemporer dari proses tersebut. Negara melalui berbagai instrumen hukum dan keamanan mendorong ekspansi industri tambang, yang tak jarang menabrak hak masyarakat adat. Ketika warga menolak tambang demi mempertahankan tanah leluhur, mereka dicap menghambat pembangunan. Ketika mereka bersuara, mereka dihadapkan pada gas air mata dan ancaman penjara. Dalam skema ini, pembangunan adalah sinonim dari penggusuran.

Demokrasi Lokal yang Tercekik
Demokrasi seharusnya memberi ruang partisipasi dan perlindungan terhadap warga, terutama yang berada di garis depan konflik sumber daya. Namun apa yang terjadi di Halmahera Timur justru menunjukkan kemunduran serius. Seperti dinyatakan JATAM, kekerasan dan kriminalisasi terjadi dalam pola yang sistematis. Indikasi bahwa negara menggunakan kekuatan koersifnya untuk mensterilkan ruang politik lokal dari suara-suara kritis.

Marx telah mengingatkan bahwa “The so-called freedom of the individual is, in fact, the unconditional submission to the economic laws of capital.” Dalam sistem kapitalisme yang tidak terkendali, kebebasan hanyalah selubung dari dominasi modal. Demokrasi lokal dalam kasus ini menjadi formalitas belaka. Kepentingan masyarakat adat dipinggirkan, suara mereka direduksi sebagai gangguan, dan mekanisme konsultasi publik hanya menjadi legitimasi prosedural untuk proyek yang sudah diputuskan sebelumnya.

Legalitas yang Lentur, Kekuasaan yang Tegas Salah satu hal yang mencolok adalah bagaimana instrumen hukum digunakan secara fleksibel untuk memfasilitasi kepentingan modal. Regulasi lingkungan, tata ruang, hingga hukum pidana, dapat diarahkan untuk mempercepat investasi dan sekaligus membungkam resistensi. Dalam hal ini, negara tidak netral. Ia aktif memilih: siapa yang dilindungi, siapa yang dikorbankan.

Dalam banyak kasus, regulasi dibuat setelah investasi ditetapkan. Kawasan adat bisa diubah statusnya. Wilayah konservasi bisa diberikan izin tambang. Laporan AMDAL bisa disulap menjadi dokumen persetujuan. Prosedur hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi alat perampasan. Inilah bentuk konkret dari “environmental authoritarianism” pembangunan lingkungan yang dijalankan secara otoriter dan eksklusif.

Tuntutan Koreksi dan Keadilan
Kekerasan negara terhadap masyarakat adat di Halmahera Timur bukan hanya pelanggaran Hak Asasi Manusia, tetapi juga kegagalan tata kelola sumber daya alam. Negara seharusnya menjadi pelindung, bukan makelar kepentingan modal. Mengutip pandangan yang dikemukakan Marx, “The expropriation of the mass of the people from the soil forms the basis of the capitalist mode of production.” Jika negara terus memfasilitasi perampasan ini, maka pembangunan Indonesia hanya akan menumpuk luka ekologis dan ketimpangan sosial.

Sudah saatnya negara melakukan koreksi struktural terhadap arah pembangunan. Hilirisasi tidak boleh dijadikan dalih untuk menjustifikasi kekerasan dan kriminalisasi. Pembangunan sejati tidak bisa dilepaskan dari prinsip keadilan “baik keadilan ekologis maupun sosial.” Tanpa koreksi mendalam, Indonesia hanya akan menjadi ladang perampasan baru yang dikendalikan oleh segelintir elite dengan dalih “kemajuan nasional”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *