Penulis: Mochdar Soleman, S.IP., M.Si.
Dosen dan Pengamat Politik Lingkungan Universitas Nasional
Presidium Suara Warga Pabuaran (SAPU)
Sekjen GP NUKU
Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu prioritas nasional yang dijalankan atas nama kepentingan publik. Namun dalam praktiknya, proyek-proyek strategis sering kali meninggalkan luka sosial dan ekologis, terutama ketika proses perencanaan hingga eksekusinya tidak partisipatif, tidak transparan, dan sarat kekuasaan sepihak. Hal demikian, kini telah dialami oleh warga Kelurahan Pabuaran, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, dalam proyek pembangunan Jalan Tol Depok–Antasari (Desari) Seksi 3.
Artikel ini saya buat sebagai catatan kritis yang berdasarkan pada pengalaman langsung saya dan warga Pabuaran, yang dengan penuh kesadaran atas “hak keadilan warga” kemudian membentuk wadah perjuangan bernama Suara Warga Pabuaran (SAPU). Catatan ini penting untuk mendokumentasikan bagaimana kebijakan publik dalam bentuk pengadaan tanah bisa gagal menghadirkan keadilan, bahkan menciptakan represi terselubung terhadap warga negara.
Proses yang minim Informasi
Saya mengawali catatan kritis ini dari sebuah proses yang saya sebut sebagai “ Minim Informasi”, dimana pada 18 September 2022, adalah saat pertama kalinya warga menerima surat undangan dari Panitia Pengadaan Tanah (P2T) terkait rencana pembangunan Jalan Tol Desari Seksi 3. Pertemuan lanjutan yang digelar pada 21 dan 22 September 2022, warga yang hadir tidak mendapatkan informasi mendasar baik tentang “lokasi pasti bidang yang terdampak, jumlah bidang, dan prosedur teknis pengadaan tanah.” Tidak ada peta bidang, tidak ada dokumen legal penetapan panitia oleh instansi berwenang (Presiden, Gubernur, atau Bupati). Padahal dalam prinsip-prinsip good governance, transparansi dan akuntabilitas adalah syarat mutlak dalam kebijakan publik berbasis lahan.
Pendataan Sepihak dan Tidak Akuntabel
Pada Oktober 2022 hingga Februari 2023, tim dari BPN, PUPR, dan dinas terkait mulai melakukan pengukuran tanah dan bangunan. Namun, kegiatan ini dilakukan tanpa surat perintah resmi, tanpa kehadiran perwakilan RT/RW secara konsisten, dan tanpa pemberian hasil ukur kepada warga. Bahkan, warga dilarang mendokumentasikan hasil ukur. Di banyak kasus, warga hanya diminta “menandatangani lembar kosong atau dokumen yang tidak mereka pahami sepenuhnya.” Ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip dasar partisipasi warga yang dijamin dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Penilaian Tanpa Dialog “Awal Kecurigaan Warga”
Proses penilaian oleh tim appraisal berlangsung pada 31 Maret 2023, namun tidak disertai mekanisme verifikasi dengan warga. Mereka hadir tanpa identitas resmi, tidak membandingkan dokumen warga dengan kondisi lapangan, dan melakukan penilaian secara tertutup. Bahkan ada indikasi interaksi personal mencurigakan antara pihak appraisal dengan individu tertentu yang bukan warga terdampak. Kejanggalan ini menjadi awal kecurigaan bahwa proses penilaian harga ganti rugi dilakukan secara “tidak profesional dan bisa dimanipulasi” oleh aktor-aktor tidak bertanggung jawab.
Musyawarah yang Tidak Pernah Ada
Warga Pabuaran menerima undangan musyawarah bentuk penetapan nilai ganti kerugian pada 23 dan 25 Juli 2023 (gelombang I) serta 21 dan 22 September 2023 (gelombang II). Namun, yang terjadi “bukan musyawarah, melainkan pemaksaan.” Warga hanya diberikan pilihan bentuk kompensasi uang, saham, atau relokasi “tanpa ada pembahasan nilai, tanpa ruang keberatan, bahkan tanpa pendampingan hukum.” Warga yang tidak setuju diarahkan untuk menyelesaikannya ke pengadilan.
Proses ini tidak hanya cacat prosedur, tetapi juga menunjukkan bagaimana kekuasaan menggunakan pendekatan “manajemen konflik” secara represif. Ini melanggar amanat Pasal 37 UU No. 2 Tahun 2012 yang mengatur bahwa musyawarah adalah ruang deliberatif untuk mencapai kesepakatan antara pemilik hak dan panitia pengadaan tanah.
Kami Bergerak : Aksi Kolektif dan Jalan Panjang Advokasi
Menyikapi proses yang tidak adil ini, warga membentuk forum “Suara Warga Pabuaran (SAPU)” dan mulai mengajukan keberatan resmi ke berbagai Lembaga mulai dari instansi pemerintahan paling bawah yakni kelurahan, kecamatan, BPN, PUPR, DPRD, hingga Kementerian ATR/BPN. Warga juga melakukan audiensi dengan Fraksi PKS DPRD Kabupaten Bogor (11 September 2023) dan DPR RI (18 Oktober 2023), serta mengadakan unjuk rasa damai pada 10 Oktober dan 20 Oktober 2023.
Namun, alih-alih mendapatkan tanggapan serius, kami justru mengalami kebingungan administratif. Contoh paling mencolok adalah agenda pertemuan antara perwakilan warga dengan ATR/BPN yang semula dijadwalkan di Kantah ATR/BPN Bogor, tanpa alas an yang jelas lokasi pertemuan pada 6 November 2023 berubah sebanyak tiga kali, dari Kantah ATR/BPN dipindahkan Polres Bogor kemudian dipindahkan kembali ke Kantah ATR/BPN. Lebih miris lagi adalah perwakilan warga yang datang pun sempat ditolak masuk dan baru ditemui setelah ancaman aksi massa.
Hasil dari audiensi ini pun nihil. Kepala Kantah ATR/BPN sekaligus ketua P2T Ibu Yulian dan PPK Ibu Triana menyampaikan bahwa akan mengajukan permohonan revisi nilai (Peninjuan Kembali) ke pusat (KPA “Kuasa Pengguna Anggaran”), tanpa memberikan tenggat atau mekanisme pengawasan yang jelas.
Harapan yang Belum Pulih
Pada 13 November 2023, warga Pabuaran menghadiri undangan Ombudsman RI dan berharap lembaga ini melakukan investigasi langsung ke lokasi. Kemudian, pada 14 November 2023, Kantah ATR/BPN Bogor mengirim surat perihal survei lanjutan, namun hingga kini belum membuahkan hasil konkret. Kami masih menanti pengakuan formal atas hak kami “keadilan prosedural, harga yang wajar, dan pengakuan atas martabat sebagai warga negara.”
Pembangunan Tidak Boleh Melukai
Pembangunan seharusnya menjadi ruang pemulihan, bukan penggusuran. Keadilan sosial bukan hanya jargon, tetapi prinsip yang harus menjiwai setiap proyek negara. Tol Desari Seksi 3 adalah pengingat bahwa ketika negara gagal mendengarkan warganya, yang lahir bukanlah kemajuan, melainkan luka kolektif.
“Kami, warga Pabuaran, menolak ketidakadilan. Dan kami akan terus bersuara, karena keadilan bukan hadiah ia adalah hak.”












